[Demokrasi]
Menurut Abrahan Lincoln, 1863
Demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (
government of the people, by the people, and for the people).
Menurut Hans Kelsen
Demokrasi adalah
pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
B. Nilai-nilai Demokrasi
1. Kesadaran akan Pluralisme.
2. Sikap yang jujur dan pikiran yang sehat.
3. Demokrasi membutuhkan kerja sama antar warga masyarakat dan sikap serta itikad baik.
4. Demokrasi membutuhkan sikap kedewasaan.
5. Demokrasi membutuhkan pertimbangan moral.
C. Prinsip dan Parameter Demokrasi
Menurut Robert A. Dahl terdapat tujuh prinsip demokrasi yang harus ada dalam sistem pemerintahan, yaitu :
1. Adanya kontrol atau kendali atas keputusan pemerintahan.
2. Adanya pemilihan yang teliti dan jujur.
3. Adanya hak memilih dan dipilih.
4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman.
5. Adanya kebebasan mengakses informasi.
6. Adanya kebebasan berserikat yang terbuka.
D. Jenis-jenis Demokrasi
1. Demokrasi Berdasarkan Cara Menyampaikan Pendapat.
a. Demokrasi langsung
b. Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.
c. Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat.
2. Demokrasi berdasarkan Titik Perhatian atau Prioritas
a. Demokrasi formal
b. Demokrasi material
c. Demokrasi campuran
3. Berdasarkan Prinsip Ideologi
a. Demokrasi liberal
b. Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar
4. Berdasarkan Wewenang dan Hubungan antar Alat Kelengkapan Negara
a. Demokrasi sistem parlementer.
b. Demokrasi sistem presindensial.
[Desentralisasi]
Soenobo Wirjosoegito
“Desentralisasi
adalah penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi
kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
berdasarkan pertimbangan kepentinga sendiri mengambil keputusan
pengaturan dan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari
itu”.
Menurut Ruiter desentralisasi terjadi dalam 2 (dua) bentuk, yaitu
desentralisasi teritorial dan fungsional, “Desentralisasi teritorial
adalah memberi kepada kelompok yang mempunyai batas-batas teritorial
suatu organisasi tersendiri, dengan demikian memberi kemungkinan suatu
kebijakan sendiri dalam sistem keseluruhan pemerintahan. Sedangkan
desentralisasi fungsional adalah memberi kepada suatu kelompok yang
terpisah secara fungsional suatu organisasi sendiri, dengan demikian
memberi kemungkinan akan suatu kebijakan sendiri dalam rangka sistem
pemerintahan”.
Bagir Manan, dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu:
1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
2. Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip pemerintahan asli.
3. Dasar kebhinekaan.
4. Dasar negara hukum.
David Oesborne dan Ted Goeber berpendapat bahwa desentralisasi dan otonomi itu menunjukkan:
1. Satuan-satuan desentralisasi (otonomi) lebih fleksibel dalam memenuhi perubahan-perubahan yang terjadi dangan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas dengan efektif dan lebih efisien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
4.
Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih
tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Riggs (dalam Sarunjang 2000:47) menyatakan bahwa desentralisasi mempunyai dua makna:
Pelimpahan
wewenang (delegation) yang mencakup penyerahan tanggung jawab kepada
bawahan untuk mengambil keputusan berdasar kasus yang dihadapi, tetapi
pengawasan tetap berada ditangan pusat.
Pengalihan kekuasaan (devolution) yakni seluruh tanggung jawab untuk
kegiatan tertentu diserahkan penuh kepada penerima wewenang.
[Partai politik]
Mac Iver dalam bukunya The Modern State (Wirjono, 1981:100): Partai
politik adalah suatu perkumpulan terorganisasi untuk menyokong suatu
prinsip atau policy, yang oleh perkumpulan itu diusahakan dengan
cara-cara yang sesuai dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945
agar menjadi penentuan cara melakukan pemerintahan.
partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara kontitusionil untuk
melaksanakan kebijaksanaan-kebijakasanaan mereka (Budiharjo, 1982:161).
Pembentukan partai menurut (Joseph La Palombara & Weyner)
1. Institutional Theory (Teori Kelembagaan)
Theori ini terbentuk karena melihat ada hubungan antara parlemen awal
dan timbulnya partai politik. Keanggotaan partai ditawarkan secara luas
seiring dengan political suffrage yang juga makin meluas, dan setiap
anggota harus kontributif & aktif dalam organisasi partai. Program
partai mjd spesifik & diarahkan terutama pada kepincangan-2 sosial
& ekonomi yang dihasilkan oleh revolusi industri.
Ada dua tipe partai politik dalam teori ini:
a) Intraparliamentary Party
Parpol
dibentuk oleh kalangan legislative (dan eksekutif) krn ada kebutuhan
dari para anggota parlemen (yg diangkat) utk mengadakan kontak dg
masyarakat & membina dukungan dari masyarakat. Setelah parpol
terbentuk & jalankan fungsinya, baru kemudian muncul parpol jenis
lain yg dibentuk oleh kalangan masyarakat.
b) extraparliamentary party
Partai
tipe kedua ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pimpinan
masyarakat yg sadar politik berdasarkan penilaian bahwa parpol yg
dibentuk pemerintah tdk mampu menampung & perjuangkan kepentingan
mereka.
Historical Situation Theory (Teori Situasi Historis)
Teori ini melihat timbulnya parpol sbg upaya suatu sistem politik utk
atasi krisis yg ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas.
Krisis yg dimaksudkan di sini adalah manakala suatu sistem politik
mengalami masa transisi krn perubahan masyarakat dari bentuk tradisional
yg berstruktur sederhana mjd masyarakat modern yg berstruktur kompleks.
Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti : pertambahan
penduduk, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola
pertanian & industri, partisipasi media, dan munculnya
gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan ini akibatkan munculnya 3
macam krisis: legitimasi, integrasi dan partisipasi. Artinya,
perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan masyarakat pertanyakan
prinsip-prinsip yg mendasari :
a. legitimasi kewenangan pihak yg memerintah;
b. menimbulkan masalah dlm identitas yg menyatukan masyarakat sbg suatu bangsa; dan
c. akibatkan timbulnya tuntutan yg semakin besar utk ikut serta dlm proses politik.
Berdasarkan atasi 3 masalah inilah partai politik kemudian dibentuk.
Partai yg berakar kuat dlm masy diharapkan dpt kendalikan pemerintahan
shg terbentuk pola hubungan kewenangan yg legitimate antara pemerintah
& masyarakat . Partai yg ikut serta dalam pemilu sebagai sarana
konstitusionil dlm mendapatkan kekuasaan diharapkan dpt berperan sbg
saluran partisipasi politik masyarakat .
Development Theory (Teori Pembangunan)
Teori ini melihat kehadiran parpol sbg produk modernisasi sosial
ekonomi. Dan Teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti
teknologi komunikasi berupa media massa & transportasi, perluasan
dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, dan peningkatan kemampuan
individu melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yg
mampu padukan & perjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Jadi parpol merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi.
Teori pembangunan miliki kesamaan dengan teori historis, bahwa
kelahiran parpol terkait dg perubahan yg ditimbulkan modernisasi. Perbedaan
kedua teori ini terletak pada proses pembentukan parpol. Teori histori
mengatakan bahwa perubahan menimbulkan 3 krisis, dan parpol dibentuk utk
atasi ke-3 krisis tersebut. Sedangkan teori pembangunan mengatakan
bahwa perubahan-2 itulah yg lahirkan kebutuhan akan parpol.
[Pemerintahan]
Dikatakan oleh Koswara (2002 : 29) bahwa yang dimaksud pemerintahan adalah:
dalam
arti luas meliputi seluruh kegiatan pemerintah, baik menyangkut bidang
legislatif, eksekutif maupun yudikatif, dalam arti sempit meliputi
kegiatan pemerintah yang hanya menyangkut bidang eksekutif.
Ada beberapa asas pemerintahan, antara lain : asas aktif, asas ‘mengisi
yang kosong” atau Vrij Bestuur, asas membimbing, asas Freies Ermessen,
asas “dengan sendirinya”, asas historis, asas etis, dan asas de
tournament de pouvoir.
Menurut Taliziduhu Ndraha, pemerintahan dapat digolongkan menjadi 2
golongan besar yaitu pemerintahan konsentratif dan dekonsentratif.
Pemerintahan dekonsentratif terbagi atas pemerintahan dalam negeri dan
pemerintahan luar negeri. Pemerintahan dalam negeri terbagi atas
pemerintahan sentral dan desentral. Pemerintahan sentral dapat diperinci
atas pemerintahan umum dan bukan pemerintahan umum. Yang termasuk ke
dalam pemerintahan umum adalah pertahanan keamanan,peradilan, luar
negeri dan moneter.
Finer dalam Pamudji (1993 : 24-25) mengemukakan bahwa istilah “government” paling sedikit mempunyai 4 (empat) arti yaitu :
- Menunjukan kegiatan atau proses pemerintah, yaitu melaksanakan kontrol atas pihak lain (the activity or the process of governing).
- Menunjukan masalah-masalah (hal ikhwal) negara dalam mana kegiatan atau proses di atas dijumpai (states of affairs).
- Menunjukan orang-orang (pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah (people chargewidth the duty of governing).
- Menunjukan cara, metode atau sistem dengan mana suatu masyarakat tertentu diperintah (the manner, method or system by which a particular society is governed).
[Lembaga negara]
John Locke seperti yang dikutip Koswara (2005 : 21) mengemukakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga bidang yakni :
1. Kekuasaan dalam bidang legislatif, yaitu kekuasaan pembuatan Undang-Undang.
2. Kekekuasaan di bidang eksekutif, yaitu kekuasaan dalam melaksanakan Undang-undang.
3. Kekuasaan di bidang federatif, yaitu kekuasaan dalam melakukan hubungan luar negeri.
pemerintahan
Indonesia menerapkan teori trias politika. Montesquieu dengan ajaran
Trias Politika (Tripraja) membagi badan-badan kekuasaan dalam tiga
lembaga, yaitu :
Pouvoir Legislatif, yaitu kekuasaan dalam bidang pembuatan perundang-undangan.
Pouvoir Eksekutif, yaitu kekuasaan dalam bidang melaksanakan segala sesuatu yang dimanatkan oleh undang-undang.
M. Kusnadi dan Harmaily memberikan pengertian mengenai pembagian
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tetapi tidak dipisahkan.
Artinya, meskipun, kekuasaan itu telah dibagi atau dipisahkan satu sama
lain, tapi bagian-bagian itu tetap dimungkinkan melakukan koordinasi
atau kerja sama.
Jimly Asshiddiqie berpendapat sama dengan Kusnadi dan Harmaily, bahwa
bagian-bagian kekuasaan yang terpisah itu tetap memungkinkan terjadinya
koordinasi dan kerja sama.
Dengan
adanya pemisahan kekuasaan yang tegas, diharapkan terjaminnya kebebasan
masing-masing lembaga dalam menjalankan kekuasaannya. Legislatif
bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang
eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri
yang membantunya.
Yudikatif
bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur
yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung(MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
[Budaya politik]
Rusadi Sumintapura
Budaya
politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya
terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem
politik.
Sidney Verba
Budaya
politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan
politik dilakukan.
Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu :
(1) Budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif)
(2) Budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi)
(3) Budaya politik partisipatif (aktif)
Almond dan Verba mengemukakan, bahwa budaya politik suatu masyarakat
dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan
evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada :
(1)
Orientasi kognitif, yang merupakan pengetahuan masyarakat tentang
sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya
adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang di buat oleh
pemerintah
(2)
Orientasi afektif, merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem
politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan
masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau
menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.
(3)
Orientasi evaluatif, merupakan keputusan dan pendapat masyarakat
tentang objek-objek politik yan gsecara tipikal melibatkan nilai moral
yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang
mereka miliki.
Clifford
Geerts, seorang antropolog berkebangsaan Amerika mengemukakan tentang
tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia yaitu :
(1) Budaya Politik Abangan,
(2) Budaya Politik Santri,
(3) Budaya Politik Priyayi,
[Kebijakan publik]
Thomas R. Dye (1981)
Whatever Governments choose to do or not to do
David Easton dalam Pandji Santosa (2008 : 27)
“ pengalokasian nilai-nilai kepada seluruh masyarakat secara keseluruhan”.
Model kebijakan publik
1. MODEL ELITE
Kebijakan publik dalam model elite dapat dikemukakan sebagai preferensi
dari nilai-nilai elite yang berkuasa. Teori model elite menyarankan
bahwa rakyat dalam hubungannya dengan kebijakan publik hendaknya dibuat
apatis atau miskin informasi.
Dalam model ini ada 2 lapisan kelompok sosial:
a. Lapisan atas, dengan dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu mengatur.
b. Lapisan tengah adalah pejabat dan administrator.
c. Lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang diatur.
2. MODEL KELOMPOK
Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan.
Dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan
bentuk kebijakan secara interaktif.
3. MODEL INSTITUSIONAL
(kebijakan adalah hasil dari lembaga) Yaitu hubungan antara kebijakan
(policy) dengan institusi pemerintah sangat dekat. Suatu kebijakan tidak
akan menjadi kebijakan publik kecuali jika diformulasikan, serta
diimplementasi oleh lembaga pemerintah. Menurut Thomas dye: dalam
kebijakan publik lembaga pemerintahan memiliki tiga hal, yaitu : 1.
legitimasi, 2. universalitas dan ke 3. paksaan.
4. MODEL INKREMENTAL (Policy as Variatons on the Past)
Model ini merupakan kritik pada model rasional. Pada model ini para
pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara
konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya.
5. MODEL SYSTEM THEORY (Policy as sytem output)
Pendekatan sistem ini diperkenalkan oleh David Eston yang melakukan
analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan
proses interaksi antara organisme dengan lingkungannya, yang akhirnya
menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang relatif stabil. Ini
kemudian dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.
Pada dasarnya terdapat 3 komponen utama dalam pendekatansistem, yaitu: input, proses dan output.
6. MODEL RASIONAL
(Kebijakan sebagai laba sosial maksimum) Kebijakan rasional diartikan
sebagai kebijakan yang mampu mencapai keuntungan sosial tertinggi. Hasil
dari kebijakan ini harus memberikan keuntungan bagi masyarakat yang
telah membayar lebih, dan pemerintah mencegah kebijakan bila biaya
melebihi manfaatnya.
7. MODEL PROSES
[Kekuasaan negara]
Shang Yang,
Tujuan
negara adalah pembentukan kekuasaan negara yang sebesar-besarnya.
Menurut dia, perbedaan tajam antara negara dengan rakyat akan membentuk
kekuasaan negara. “A weak people means a strong state and a strong state
means a weak people. Therefore a country, which has the right way, is
concerned with weakening the people.”
Immanuel Kant (1724-1804)
Menurutnya
setiap orang adalah merdeka dan sederajat sejak lahir. Maka Kant
menyatakan bahwa tujuan negara adalah melindungi dan menjamin ketertiban
hukum agar hak dan kemerdekaan warga negara terbina dan terpelihara.
Untuk itu diperlukan undang-undang yang merupakan penjelmaan kehendak
umum (volonte general), dan karenanya harus ditaati oleh siapa pun,
rakyat maupun pemerintah. Agar tujuan negara tersebut dapat terpelihara,
Kant menyetujui azas pemisahan kekuasaan menjadi tiga potestas
(kekuasaan): legislatoria, rectoria, iudiciaria (pembuat, pelaksana, dan
pengawas hukum).
Ajaran Plato: Negara bertujuan memajukan kesusilaan manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Ajaran Teokratis (Kedaulatan Tuhan): Negara bertujuan mencapai
kehidupan yang aman dan ternteram dengan taat kepada Tuhan.
Penyelenggaraan negara oleh pemimpin semata-mata berdasarkan kekuasaan
Tuhan yang dipercayakan kepadanya. Tokoh utamanya: Augustinus, Thomas
Aquino)
Ajaran Negara Polisi: Negara bertujuan mengatur kemanan dan ketertiban masyarakat (Immanuel Kant).
Ajaran Negara Hukum: Negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum, segala
kekuasaan alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum. Semua orang –
tanpa kecuali – harus tunduk dan taat kepada hukum (Government not by
man, but by law = the rule of law). Rakyat tidak boleh bertindak semau
gue dan menentang hukum. Di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin
sepenuhnya oleh negara, sebaliknya rakyat berkewajiban mematuhi seluruh
peraturan pemerintah/ negaranya.
Negara Kesejahteraan (Welfare State = Social Service State): Negara
bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum. Negara adalah alat yang
dibentuk rakyatnya untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan
keadilan sosial.
Hakikat Pembagian Kekuasaan
Zul Afdi Ardian (1994) membagi hakikat pembagian kekuasaan melalui dua cara, yaitu:
1. Pembagian kekuasaan secara vertikal.
Pembagian
kekuasaan secara vertikal berarti pembagian kekuasaan menurut
tingkatannya. Pembagian kekuasaan ini dilakukan oleh beberapa tingkat
pemerintahan di dalam negara tersebut. Misalnya saja pembagian kekuasaan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di dalam negara
kesatuan. Atau jika di dalam negara federasi, dilakukan antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.
2. Pembagian kekuasaan secara horizontal.
Pembagian
kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasan berdasarkan
fungsinya. Pembagian kekuasaan lebih menitikberatkan kepada pembedaan
antara fungsi pemerintahan seperti pembedaan antara fungsi badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
[Teori Politik]
Teori politik adalah generalisasi dari phenomena-phenomena politik. Teori politik ini terdiri dari :
- Tujuan politik
- Cara mencapai tujuan politik tersebut
- Kemungkinan dan kebutuhan untuk cara tersebut
- Kewajiban dalam mencapai kebutuhan tersebut
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :
1.
Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik.
Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan
politik sistematis.
2.
Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan
mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa
mengaitkannya dengan moral atau norma.
Menurut Harold Laswell terdapat 8 nilai yang dikejar dalam politik, yaitu ;
Kekuasaan
Pendidikan
Kekayaan
Kesehatan
Keterampilan
Kasih sayang
Kejujuran/keadilan
Keseganan
Adapun konsep-konsep dalam ilmu politik senantiasa berkutat dalam masalah:
a. Kekuasaan – sumber kekuasaan – pengaruh – pembuat dan pelaksanan kebijakan
b. Kewenangan – kekuasaan berdasarkan legitimasi
c. Konflik dan konsensus
d. Pengambilan keputusan dan cara mendistribusikan kekuasaan
Ilmu
politik tidak berdiri sendiri namun memiiki kaitan dengan ilmu-ilmu
lainnya seperti sejarah, filsafat, hukum (tiga ilmu penting yang
mempengaruhi politik), sosiologi, antrophologi, ekonomi, geographi dan
psikologi sosial.
Sumber :
Tidak ada komentar
Posting Komentar