Dinamika
politik Indonesia saat ini sangat cepat berubah dan berkembang seiring
dengan perjalanan bangsa ini khususnya sejak reformasi 1998. Hal ini
dapat kita lihat dengan banyaknya partai-partai politik baru dan juga
berbagai perusahaan-perusahaan baru bermunculan,
baik asing maupun dalam negeri yang saat ini menikmati kebebasan hasil reformasi tersebut.
baik asing maupun dalam negeri yang saat ini menikmati kebebasan hasil reformasi tersebut.
Diawali
dengan pergantian presiden dari Soeharto kepada Habibie, hingga
pemilihan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden oleh MPR. Perjalanan
politik negeri ini dipenuhi oleh persaingan elit-elit dari berbagai
kalangan mulai pemerintahan, legislatif, partai politik, hingga
pengusaha. Sampai puncaknya ketika presiden K.H. Abdurrahman Wahid
dilengserkan dari jabatan presiden dan digantikan wakilnya saat itu
Megawati Soekarno Putri, yang kemudian menjabat presiden Indonesia
sampai tahun 2004.
Keran
kebebasan yang sudah terlanjur dibuka saat reformasi membuat
masyarakat kita tergagap menghadapi kebebasan, yang tiba-tiba datang
setelah sekian lama terkekang dalam otoritarisme orde baru. Modal-modal
asing pun mulai berdatangan masuk ke Indonesia menancapkan akarnya
memulai bisnis multinasionalnya. Tidak mau ketinggalan
pengusaha-pengusaha nasional mulai bangkit kembali, membangun kerajaan
bisnisnya yang sempat hancur setelah didera krisis keuangan saat
reformasi terjadi. Begitu pun dengan partai politik di Indonesia yang
mulai tumbuh kembali setelah sekian lama tidak dapat muncul, menandai
era baru kehidupan politik dan bernegara di negeri ini yang dulu
menjadi impian.
Pertumbuhan
partai politik tersebut terlihat jelas ketika mulai diadakannya pemilu
secara langsung pertama kali pada tahun 2004, begitu juga pada pemilu 2009
dan yang akan datang dalam pemilu 2014. Banyak partai-partai besar
yang sudah ada melahirkan kembali partai-partai baru, dalam artian
kelompok tertentu dalam partai tersebut kalah bersaing dengan kelompok
yang lebih kuat dalam partainya sendiri. Karena kelompok yang kalah
tersebut merasa memiliki kemampuan dan kapasitas untuk bersaing dengan
partainya, maka terjadi migrasi keluar beberapa elit partai-partai
besar tersebut yang kemudian mendirikan partai-partai baru. Dengan
harapan melalui partai barunya itu ia dapat leluasa menggunakan dan
mengungkapkan gagasan-gagasannya, yang dulu mungkin tidak atau kurang
dihargai di partainya sendiri.
Fenomena
pertumbuhan partai politik ini seperti jamur di musim hujan, dimana
seseorang maupun kelompok mudah sekali mendirikan partai. Tentu saja hal
ini tidak baik bagi perkembangan politik di Indonesia, ketika orang -
orang bebas mendirikan partai politik maka mereka membutuhkan sumber
daya yang besar untuk mewujudkannya, tidak terkecuali sumber daya
ekonomi. Karena untuk mendirikan sebuah partai politik merupakan
pekerjaan yang rumit dan memerlukan biaya yang tidak sedikit, maka dari
itu banyak partai – partai baru maupun yang sudah lebih dulu ada
menggandeng pengusaha dan pemilik modal untuk bergabung bersamanya.
Dengan modal yang dimikinya, pengusaha yang bergabung dalam partai dapat
memperoleh fasilitas dan keistimewaan lebih dibanding dengan anggota
partai lainnya.
Dengan
kebutuhan akan modal yang semakin besar dalam partai politik membuat
keberadaan partai politik saat ini tidak lebih dari sebuah ‘perusahaan
terbuka’, yang menjual ‘saham-saham perusahaannya’ kepada orang-orang
yang memiliki modal. Mengapa demikian? Jika kita lihat kecenderungan
partai politik beberapa tahun terakhir, mereka menempatkan para pemilik
modal dalam posisi strategis di dalam partai, hampir sama seperti
keadaan di dalam perusahaan. Di dalam sebuah perusahaan terbuka mereka
menjual saham-saham perusahaannya untuk mendapatkan modal guna memenuhi
biaya operasional perusahaan. Ketika ada seseorang atau perusahaan lain
yang memiliki modal besar dan membeli sebagian atau mayoritas saham
perusahaan tersebut, maka ia akan menempati posisi strategis dalam
perusahaan, seperti komisaris maupun menempatkan orangnya untuk menjabat
jabatan penting di perusahaan. Hal itu dapat terjadi karena besarnya
investasi orang tersebut kepada perusahaan dengan membeli cukup banyak
saham mereka. Namun jika masyarakat biasa yang membeli hanya beberapa
saham saja, maka ia tidak akan memiliki posisi dan kekuasaan sebesar
mereka yang membeli cukup banyak saham.
Dalam
partai politik hal itu juga terjadi. Dengan modal yang cukup besar
seseorang dapat masuk dan menempati posisi strategis dalam partai, namun
bagi anggota yang memiliki keterbatasan modal mereka hanya mampu
membayar iuran partai. Sehingga orang yang memiliki modal sedikit ini
tidak memiliki posisi, kekuasaan, dan kekuatan sebesar mereka yang
memiliki segalanya. Kecenderungan orang-orang yang bermodal besar ini
adalah pengusaha yang terjun dalam dunia politik, mereka terjun dengan
berbagai tujuan dan latar belakang. Dengan adanya persaingan modal di
partai politik ini maka akan membuat kelas-kelas antara para pemilik
modal dengan mereka yang tidak memiliki modal. Kelas-kelas ini pada
akhirnya merembet keluar kedalam kehidupan sosial mereka. Orang-orang
yang bermodal besar baik dalam partai maupun kehidupan sosial memiliki
posisi dan kekuasaan yang lebih baik dan dominan dibanding mereka yang
tidak.
Jika
kita melihat teori Marx maka keberadaan kelas-kelas ini adalah akibat
dari kapitalisme yang lebih berorientasi kepada ekonomi, dalam hal ini
adalah modal atau kekuatan ekonomi yang mulai masuk kedalam partai
politik dan kehidupan politik di Indonesia. Dengan adanya kelas-kelas
seperti itu maka menurut Marx tidak terjadi kesamarataan antara pemilik
modal dan tidak, akibat ketidak samarataan itu maka akan menimbulkan
masalah sosial.
Di
Indonesia sendiri masalah kelas akibat kapitalisme ini membuat politik
negeri ini lebih berorientasi kepada ekonomi, karena tidak bisa
dipungkiri modal yang diperlukan sangatlah besar. Selain itu akibat
persaingan modal ini maka kesempatan
seseorang untuk menuju jenjang selanjutnya baik didalam partai maupun
di pemerintahan semakin tertutup. Ini terjadi karena orang-orang harus
bersaing untuk memperebutkannya dan pada akhirnya kemenangan itu bisa
dibeli dengan modal yang besar. Sehingga pemimpin-pemimpin yang
berkualitas di negeri ini sulit untuk menampakkan dirinya jika tidak
mempunyai basis ekonomi yang kuat. Hal itu dapat kita lihat di beberapa
partai politik tanah air dimana posisi strategisnya banyak diisi oleh
pengusaha-pengusaha yang notabenenya memang memiliki modal besar.
Politik
dan ekonomi sebagaimana diungkapkan dalam madzhab Frankfurt merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan perubahan dinamika sosial dalam
masyarakat. Dan saat ini hal itu dapat kita lihat di Indonesia, ketika
partai politik berafiliasi dengan pemodal-pemodal besar yang menawarkan
sumber ekonomi bagi partai dan partai politik sendiri menawarkan
‘sahamnya’ kepada pemilik modal. Akibatnya saat ini Indonesia mengalami
krisis kepartaian bukan krisis kepemimpinan, karena pemimpin di
Indonesia sebenarnya cukup banyak. Namun mereka tidak bisa muncul
kepermukaan karena kalah dan kemudian tertelan oleh para pemilik modal.
Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Edwin H. Sukowati Ketua Dewan
Pembina Pemuda Demokrat (PD) Indonesia yang mengatakan “kita ini bukan
krisis kepemimpinan nasional, tapi krisis kepartaian. Banyak calon
pemimpin nasional, namun dia tak ada kesempatan karena partai sudah
berubah jadi agen liberal kapitalis” (16/6/12). Ditambah dengan peran
partai politik sebagai lembaga superstruktur yang ikut menentukan arah
kebijakan dan perjalanan negeri ini melalui wakil mereka di elit-elit
pemerintahan dan parlemen, sehingga bukan tidak mungkin negara ini
justru digunakan dan dimanfaatkan oleh mereka demi keuntungan dan
kepentingan kelompok mereka.
Peristiwa
ini sesuai dengan pendapat Herbert Marcuse yang menyatakan bahwa
masyarakat modern memiliki ciri yang menonjol yaitu peranan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Rasionalitas dalam kapitalisme modern adalah
rasionalitas teknologi, dimana dalam memandang segala sesuatu adalah
yang dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dan dimanipulasi. Dalam
konteks politik di negeri ini para pengusaha yang memiliki modal,
teknologi, dan ilmu pengetahuan akan menggunakan berbagai cara untuk
dapat menguasai dan menggunakan faktor-faktor ekonomi yang ada, seperti
afiliasi dengan partai-partai politik yang banyak terjadi saat ini.
Akibat
krisis kepartaian ini maka terjadi kejenuhan dalam masyarakat,
kejenuhan karena saluran politik masyarakat tertutup oleh pemilik modal.
Sampai akhirnya kejenuhan itu berujung kepada individualistik dan
apatisme masyarakat kepada politik termasuk partai politik. Dengan
kecenderungan apatisme justru meningkat pada masyarakat yang lebih
memiliki kemampuan ekonomi dari pada mereka yang tidak. Hal ini dapat
terjadi karena selain faktor ekonomi juga faktor teknologi dan
pengetahuan yang semakin baik pada masyarakat, sehingga tanpa disadari
kapitalisme modern telah mempengaruhi kehidupan mereka dan membuat
selubung untuk menutupi kapitalisme baru tersebut. Sebagaimana dalam
teori Marx mengatakan bahwa kapitalisme membawa individu memisahkan diri
dari dirinya sendiri, dan timbul pemisah antara individu dengan proses
produksi yang ada.
Seperti
diungkapkan dalam madzhab Frankfurt bahwa kedua hal diatas juga
merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Karena
menurutnya semua pengetahuan bersifat ideological, yang mengartikan
semua pengetahuan merupakan cerminan dari ide, nilai, dan
kepentingan-kepentingan kelompok. Oleh karena itu budaya dan ideologi
yang ada dalam masyarakat saat ini berperan penting dalam mempengaruhi
pola pikir masyarakat, jika pola pikir masyarakat saat ini adalah
kapitalis alias mengutamakan faktor ekonomi. Maka diperlukan pola pikir
baru bahwa manusia merupakan makhluk sosial bukanlah faktor produksi,
sehingga pola pikir yang lama dapat di rubah dan terjadi kesamarataan
dalam masyarakat. Begitu juga dengan partai politik harus memegang teguh
ideologi partainya serta tidak terjebak dalam kapitalisme modern
sehingga praktek jual beli ‘saham’ dapat dihentikan. Dan seluruh warga
negara memiliki kesempatan yang sama dalam berpolitik, sehingga tidak
lagi terjadi krisis kepemimpinan akibat krisis kepartaian karena semua
pemimpin negeri ini memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan tampil.
Tidak ada komentar
Posting Komentar