Etika menurut arti katanya adalah ilmu tentang akhlak dan tata
kesopanan,[1] sementara lingkungan
menurut arti katanya adalah kawasan wilayah dan segala sesuatu yang terdapat di
dalamnya, golongan, dan kalangan.[2] Maka dari itu etika
lingkungan menurut arti katanya bisa disebut sebagai tata kesopanan dalam
berperilaku terhadap segala hal yang terdapat dalam suatu kawasan.
Sementara itu etika
lingkungan menurut pandangan lingkungan hidup diungkapkan oleh Sonny Keraf
sebagai “Relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia
dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan
makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya,
berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau
tidak langsung terhadap alam.”[3]
Pandangan yang saat ini mendominasi bagaimana cara manusia
berinteraksi dengan lingkungan adalah pandangan antroposentrisme. Pandangan ini
menerapkan nilai dan moral yang ada pada kehidupan manusia kedalam interaksi
terhadap makhluk hidup lainnya, padahal nilai dan moral tersebut sangat kental
dengan kepentingan dari manusia itu sendiri. Sehingga yang kita lakukan selama
ini belum mampu mengakomodir kepentingan dari lingkungan dan makhluk hidup
lainnya.
Akibat penggunaan etika yang sepihak oleh manusia ini menyebabkan
pandangan manusia terhadap lingkungan juga sepihak dari sisi kepentingan
manusia belaka. Sehingga manusia menganggap lingkungan sebagai obyek pemenuh
kebutuhan manusia saja. Akhirnya saat ini lingkungan hidup mengalami kerusakan
yang terus menerus meningkat sebagai akibat dari aktivitas pemenuhan kebutuhan
manusia. Kesalahan manusia bersikap terhadap lingkungan ini juga diungkapkan
oleh Albert Schweitzer dalam Sonny Keraf yang menyatakan bahwa, “Kesalahan
terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara
mengenai hubungan antara manusia dengan manusia.”[4]
Dengan melihat perkembangan manusia yang dinamis dan diikuti
dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka teori etika lingkungan hidup juga
mengalami perkembangan. Perkembangan teori etika lingkungan hidup ini paling
tidak berkembang menjadi tiga model, yaitu:
- Antroposentrisme
Pandangan ini melihat
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan
yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak
langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang
mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam
semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai obyek,
alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya
alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya
sendiri.[5]
Dengan pandangan ini
manusia menganggap mampu memanfaatkan alam semaksimal mungkin demi kelangsungan
hidup manusia. Saat usaha mereka itu justru menyebabkan kerusakan lingkungan,
manusia masih berusaha sebagai ‘tuhan’ yang mampu mengubah-ubah kondisi
lingkungan agar sesuai dengan standar hidup manusia dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Usaha pelestarian lingkungan itupun juga dilakukan
jika hanya pelestarian itu bermanfaat bagi kepentingan manusia lainnya. Jika
ternyata alam itu tidak memberi manfaat bagi manusia lainnya, maka alam itu
akan diabaikan dan tidak di pedulikan.
- Biosentrisme
Pandangan mendasar
biosentrisme menganggap semua makhluk hidup di bumi ini mempunyai nilai dan
moral sendiri. Hubungan antar komunitas makhluk hidup ini harus dijalankan
berdasar pemahaman yang sama tentang nilai dan moral oleh semua makhluk hidup.
Tidak seperti dalam pandangan antroposentrisme yang menganggap manusia sebagai
pemilik tunggal nilai dan moral. Biosentrisme berpendapat bahwa semua makhluk
hidup yang ada di bumi ini mempunyai nilai dan moralnya sendiri.
Biosentrisme menekankan
pada cara berhubungan antar komunitas makhluk hidup, jadi pusat perhatian
pandangan ini pada semua makhluk yang hidup baik manusia maupun nonmanusia
secara komunitas, bukan sebagai individu. Biosentrisme sendiri menurut Paul
Taylor dalam Sonny Keraf didasarkan pada empat keyakinan yaitu:[6]
- Pertama, keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas kehidupan di bumi, dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang sama di mana makhluk hidup yang lain juga anggota dari komunitas yang sama.
- Kedua, keyakinan bahwa spesises manusia, bersama dengan semua spesies lain, adalah bagian dari sistem yang saling teergantung sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari makhluk hidup mana pun, serta peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya, tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan melainkan oleh relasinya satu sama lain.
- Ketiga, keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri sesuai dengan caranya sendiri.
- Keempat, keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk hidup lain.
- Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan
pengembangan lanjut dari teori biosentrisme, maka dari itu sering biosentrisme
dan ekosentrisme disamakan. Padahal kedua pandangan ini berbeda. Perbedaan
keduanya ditunjukkan pada fokus perhatiannya, pada biosentrisme fokus
perhatiannya pada hubungan antar komunitas makhluk hidup, sementara
ekosentrisme melihat hubungan ini pada hubungan semua makhluk hidup dan tak
hidup, baik secara individu maupun secara komunitas.
Ekosentrisme juga
dikenal dengan istilah lain yang dipopulerkan oleh Arne Naess dalam Sonny Keraf
sebagai Deep Ecology.[7]
Teori ini menekankan perhatiannya pada semua spesies termasuk spesies bukan
manusia. Selain itu teori ini juga memberi perhatiannya pada kepentingan jangka
panjang bukan jangka pendek, sehingga teori ini berusaha melakukan perubahan
melalui sebuah gerakan konkrit dan nyata sebagai usaha memperbaiki hubungan
antar manusia maupun non manusia, baik biotik maupun abiotik.[8]
Pandangan ekosentrisme
ini jauh berbeda dengan teori antroposentrisme yang sempit dan dangkal.
Pandangan ekosentrisme melihat manusia sebagaisalah satu spesies yang hidup di
bumi dan sangat bergantung kepada alam. Alam sendiri sudah menunjukkan bahwa ia
dapat bertahan selama jutaan tahun tanpa adanya campur tangan manusia. Sehingga
pandangan ini menolak anggapan yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk
yang paling berkuasa. Maka dari itu Otto Soemarwoto dalam bukunya yang berjudul
“Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan”, menyarankan kita untuk lebih
merendahkan diri, karena sebenarnya kelangsungan hidup manusia bukan di tangan kita,
sehingga kehidupan kita sebenarnya amat rentan. [9]
Bentuk kerendahan diri
manusia terhadap alam ini sebenarnya juga ada di Indonesia yang sudah cukup
dikenal dalam filsafat hidup orang Minangkabau. Menurut pandangan ini manusia
dianggap sebagai murid-murid dari alam dan alam sebagai gurunya, atau
lingkungan mereka, dan karenanya manusia harus mampu menyesuaikan diri dengan
alam dan lingkungannya, serta semua makhluk yang ada sebagai akibat dari
perubahan kehidupan yang terjadi secara terus menerus.[10]
[1]
Kamisa. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. 1997.
Surabaya: Kartika., hlm. 164.
[2]
Ibid., hlm. 342.
[3]
Sonny Keraf, 2010, Etika Lingkungan
Hidup. Jakarta: Kompas, hlm. 41-42
[4]
Ibid., hlm. 41.
[5]
Ibid., hlm. 47.
[6]
Ibid., hlm. 69.
[7]
Ibid., hlm. 93.
[8]
Lihat Sonny Keraf, ibid., hlm 93-94.
[9]
Lihat Otto Soemarwoto 2008. Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan., hlm. 51.
[10]
Lihat Zoer’aini Djamal Irwan. 2012. Prinsip-Prinsip
Ekologi, Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.,
hlm 4.
Tidak ada komentar
Posting Komentar