Usaha pelestarian lingkungan hidup yang selama ini didominasi oleh
kerangka pikir manajemen telah membuat usaha ini tidak mencapai hasil yang diinginkan.
Keterbatasan kerangka manajemen telah membuat usaha tersebut terjebak pada
ketergantungannya terhadap pemerintah. Kerangka pikir manajemen melihat
lingkungan hidup hanya sebagai obyek manajemen.
Sementara itu kita tahu
bahwa misi dari manajemen adalah pemuasan kepentingan para subyeknya: manusia. Sehingga lingkungan menjadi tidak memiliki makna atau nilai (value), dan membuatnya tak lebih dari sekedar alat pemuas umat manusia. [1]
Maka dari itu, Purwo
Santoso dalam makalahnya yang berjudul “Environmental
Governance: Filosofi Alternatif Untuk Berdamai dengan Lingkungan Hidup”, menawarkan konsep governance untuk digunakan sebagai kerangka pikir baru dalam
upaya pelestarian lingkungan hidup. Penggunaan konsep governance ini mengajak
kita untuk mengedepankan pola interaksi pihak-pihak
yang berkepentingan, bukan hanya efisiensi atau efektifitas kerjanya saja seperti yang ada dalam konsep manajemen.[2]
Penggunaan konsep governance dalam upaya mengatasi
persoalan lingkungan hidup juga pernah diungkapkan oleh Kotchen dan Young yang
menyatakan bahwa, “Governance systems can
be considered as institutional filters, mediating between human actions and
biophysical processes”.[3] Menurut mereka governance dapat digunakan untuk
memfilter dan memediasi hubungan antara kegiatan manusia dan lingkungan. Dalam
penggunaan konsep governance ini, sistem
Governance harus berjalan untuk menghasilkan
tiga kelompok utama yang sekarang saling berinteraksi terhadap lingkungan yakni
negara, masyarakat, dan swasta.
Konsep governance dalam lingkungan atau bisa
disebut dengan environmental governance, melihat
negara dan masyarakat sebagai obyek sekaligus subyek pada usaha
pelestarian lingkungan. Negara sebagai suatu organisasi yang memiliki kontrol
terhadap sumberdaya dan kekuasaan, memiliki kemampuan mengubah kondisi alam
dalam skala yang masif. Oleh karena itu, nasib lingkungan hidup
sangat ditentukan oleh kemampuan menertibkan perilaku negara agar konsisten
dengan kaidah-kaidah ekologis. Melalui konsep governance ini maka environmental
governance dipahami
sebagai kerangka pikir pengelolaan negara dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup melalui
interaksinya dengan rakyatnya. Tapi perlu
diingat bahwa peran negara disini adalah untuk memastikan arah dan derajat
perubahan sesuai dengan yang bisa ditolerir oleh ekosistem, bukan
kemampuan negara mengubah kondisi bio-fisik.[4]
Konsep environmental governance perlu dibangun diatas sebuah premis sentral bahwa sistem
sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu terlibat dalam interaksi (aksi-reaksi)
yang tidak berkesudahan.[5] Interaksi antar kelompok yang berkembang dalam konsep governance
telah membuat hubungan antara negara, masyarakat, dan swasta berdiri sejajar. Governance
pada konsep environmental governance digunakan pada keperluan
untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan
ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu dikelola dengan
mengedepankan nilai-nilai
ekologis, dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui
pengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis.[6]
Lahirnya
konsep environmental governance ini tidak bisa lepas dari berkembangnya
konsep governance yang telah menjadi “ibu” dari beberapa konsep lainnya tentang
tata kelola pemerintahan atau organisasi yang baik. Perkembangan yang pesat tersebut
telah membuat kita mengenal adanya istilah good governance sekarang ini.
Konsep good ini disematkan pada pelaksanaan governance yang sudah
sesuai dengan prinsip dan karakteristiknya. Sehingga governance dikatakan
baik jika pelaksanaannya telah memuat nilai-nilai governance seperti
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
Pada konsep environmental
governance, konsep good ataupun bad pada dasarnya adalah
persoalan pijakan atau keberpihakan pada nilai-nilai tertentu.[7]
Jika disepakati bahwa penilaian good ataupun bad perlu dilakukan
dalam bingkai penghormatan terhadap kedaulatan ekosistem, maka environmental
governance dikatakan good jika ia berpihak pada nilai-nilai
lingkungan atau ekosistem. Pemaknaan good atau bad pada environmental
governance harus dilihat dari kacamata ekosistem, bukan kacamata manusia
(antroposentris). Sehingga intinya, konsep environmental governance ini
ingin mengarahkan cara pandang kita untuk melihat segala persoalan dari sudut
pandang lingkungan. Lingkungan menjadi pertimbangan utama dalam setiap
keputusan yang kita ambil dan laksanakan.
Penggunaan konsep governance dalam lingkungan telah
membuat nilai-nilai yang ada pada governance
juga diterapkan dan disesuaikan dengan kepentingan lingkungan. Atas dasar
itu maka United Nations Development
Programme (UNDP), United Nations Environment Programme (UNEP), World Bank,
dan World Resources Institute
menyebutkan dalam publikasinya yang berjudul “A Guide to World Resources”, ada tujuh elemen yang dimiliki oleh environmental governance. Ketujuh elemen
tersebut adalah sebagai berikut.[8]
- Institusi dan hukum. Siapa yang membuat dan menegakkan peraturan untuk menggunakan sumber daya alam? Apa saja aturan-aturan dan hukum apabila peraturan tersebut dilanggar? Siapa yang akan memutuskan bila ada perselisihan?
- Hak-hak partisipasi dan keterwakilan. Bagaimana publik dapat mempengaruhi atau memperjuangkan peraturan mengenai sumber daya alam? Siapa yang akan mewakili mereka yang menggunakan atau tergantung pada sumber daya alam ketika kebijakan terhadap sumber daya alam tersebut dibuat?
- Tingkatan kewenangan. Pada tingkatan atau skala apa: lokal, regional, nasional, internasional, kewenangan terhadap sumber daya alam berada?
- Akuntabilitas dan transparansi. Bagaimana mereka-mereka yang mengawasi dan mengelola sumber daya alam dapat menjawab untuk kebijakan-kebijakan yang mereka buat dan kepada siapa? Bagaimana proses pembuatan kebijakan terbuka untuk dikaji?
- Hak kepemilikan dan kedudukan. Siapa yang memiliki sebuah sumber daya alam atau memiliki hak yang sah untuk mengawasi?
- Aliran pasar dan finansial. Bagaimana praktik finansial, kebijakan ekonomi dan perilaku pasar mempengaruhi kewenangan atas sumber daya alam?
- Ilmu pengetahuan dan risiko. Bagaimana ekologi dan ilmu sosial yang digabungkan dalam kebijakan terjhadap sumber daya alam digunakan untuk mengurangi risiko terhadap masyarakat dan ekosistem serta mengidentifikasikan peluang-peluang baru?
Selain tujuh elemen
yang disebutkan dalam “A Guide to World
Resources”, dalam hubungan dengan
upaya good environmental governance, Indonesian Center For Environment Law (ICEL)
juga menyebutkan ada beberapa kriteria yang harus di integrasikan dalam setiap
kebijakan yang memiliki urgensi untuk mewujudkan kebijakan pembangunan
berwawasan lingkungan yang terkait dengan berbagai hal, yaitu:[9]
- Pemberdayaan, pelibatan masyarakat dan akses publik terhadap informasi
- Transparansi
- Desentralisasi yang demokrasi
- Pengakuan terhadap daya dukung ekosistem dan berkelanjutan
- Pengakuan terhadap masyarakat adat dan masyarakat setempat
- Konsistensi dan harmonisasi
- Kejelasan (clarity), dan
- Daya penegakan.
Dengan demikian,
kriteria di atas sebagai parameter yang mendorong terciptanya pemerintahan yang
baik, terutama melalui penguatan masyarakat sipil. Pemberdayaan masyarakat dan
transparansi serta desentralisasi yang bersifat demokrasi sebagai elemen-elemen
pokok untuk mewujudkan pemerintah yang baik, sedangkan pengakuan terhadap
keterbatasan daya dukung dan ekosistem dan aspek keberlanjutan, serta pengakuan
hak masyarakat adat dan masyarakat setempat sebagai elemen-elemen pokok dari
prinsip keberlanjutan ekologis.[10]
Melalui pemikiran environmental governance, diharapkan
bisa dirumuskan pembaruan penyelenggaraan kepentingan publik dengan mengacu
atau mengedepankan nilai-nilai ekologis. Baik-buruknya penyelenggaraan
pemerintahan tidak hanya dilihat dari kualitas hubungan negara dengan
rakyatnya, namun juga dari kualitas interaksi ekologisnya, dan dari segi
komitmennya untuk menjunjung tinggi kaidah-kaidah ekologis.[11]
[1]
Purwo santoso, “Environmental Governance: Filosofi Alternatif Untuk Berdamai Dengan Lingkungan Hidup,” hlm. 9, diakses dari http://elisa1.ugm.ac.id/files/PSantoso_Isipol/
odufQlMY/GOOD%20ENVIRONMENTAL%20GOVERNANCE2.doc, pada tanggal 6 November
2013.
[2]
Ibid., hlm. 2.
[3]
Kotchen dan Young dalam UNEP. 2006. “Interlinkages:
Governance for Sustainability,” hlm. 375, diakses dari http://www.unep.org/geo/geo4/report/08_Interlinkages_Governance_for_a_
Sustainable_Earth.pdf, pada tanggal 4 April 2014 pukul 20.05 WIB.
[4]
Purwo santoso, loc. Cit., hlm. 15.
[5]
Ibid., hlm. 20.
[6]
Ibid., hlm. 18.
[7]
Ibid.
[8]
Lilin Budiati, op. Cit., hlm. 63-64.
[9]
Ibid., hlm. 71.
[10]
Ibid.
[11]
Purwo santoso, loc. Cit., hlm. 21.
Tidak ada komentar
Posting Komentar