Resume
"Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa, dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca-PILKADA" oleh Endang S
Soesilowati dkk, LIPI 2007.
(Abstrak)
Secara teoritis, diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung, menjanjikan sejumlah harapan, antara lain, diyakini
akan mampu untuk mewujudkan tatanan pemerintahan daerah yang lebih
demokratis, atau apa yang telah dilabelli oleh para akademisi sebagai local good governance (Smith, 1985, dan Arghiros, 2001).
Namun demikian, juga harus disadari bahwa ekspektasi teoritis tersebut hanya akan dapat mencapai atau paling tidak, mendekati kenyataan, billa berangkat dari asumsi substantive democracy (Case 2002), yaitu suatu tatanan demokrasi yang telah ditandai oleh eksisnya perilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan maupun dikalangan masyarakat ( Ostrom, 1991; Oyugi, 2000). Dengan inherennya perilaku demorasi tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar masyarakat (pemilih) telah memahami betul arti penting Pilkada, dan kalaupun diberikan hak kebebasan politik (political libertes), mereka telah memiliki kaasitas untuk melakukan pilihan, dan mengambil keputusan atas pilihan tersebut secara “rasional”.
Namun demikian, juga harus disadari bahwa ekspektasi teoritis tersebut hanya akan dapat mencapai atau paling tidak, mendekati kenyataan, billa berangkat dari asumsi substantive democracy (Case 2002), yaitu suatu tatanan demokrasi yang telah ditandai oleh eksisnya perilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran elit penyelenggara pemerintahan maupun dikalangan masyarakat ( Ostrom, 1991; Oyugi, 2000). Dengan inherennya perilaku demorasi tersebut, maka dapat dipastikan sebagian besar masyarakat (pemilih) telah memahami betul arti penting Pilkada, dan kalaupun diberikan hak kebebasan politik (political libertes), mereka telah memiliki kaasitas untuk melakukan pilihan, dan mengambil keputusan atas pilihan tersebut secara “rasional”.
Dalam
kondisi sebagian besar masyarakat pemilih yang relatif belum memahami
betul “nilai penting” dari Pilkada, maka sulit dihindari jika kemudian
keputusan dalam memberikan suara lebih didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat pragmatis, misalnya: apa
keuntungan jangka pendek yang dapat diperoleh dari kandidat kepala
daerah, dan siapa toko-tokoh panutan yang berafiliasi dengan si
kandidiat. Proses Pilkada yang dilaksanakan dalam suasana seperti ni,
tentunya, memiliki sejumlah implikasi terhadap penyelenggaraan
pemerintah daerah pasca Pilkada. Saat ini, tidak sedikit para pengamat
tanah air telah memberi perhatian, atau bahkan telah mengungkapkan
secara transparan tentang kemungkinan bahaya dari pelaksanaan PILKADA.
Namun hal yang tidak kalah penting adalah untuk mulai mengantisipasi
sejak dini kemungkinan bahaya ekonomi politik yang menanti pada periode
pasca pilkada. Diantara “bahaya” yang sangat mungkin terjadi adalah,
munculnya praktik Shadoow State dan Informal Economy dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca Pilkada.
“negara
bayangan” (sshadow state), atau lebih konkritnya “pemerintah bayangan,
tulis william reno (1995), biasanya akan hadir, tumbuh dan berkembang
tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal.
Penyebab utama dari terjadinya pelapukan fungsi tersebut, antara lain,
karena para elit penyelenggara pemerntah formal mengalami ketidak
berdayaan dalam berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan
politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Konsekuensi
loogis dari kondisi seperti ini, maka pada tingkat realitas,
penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh
otoritas informal di luar struktur pemerintah, daripada otoritas formal
di dalam struktur pemerintahan itu sendiri. Sumber kekuatan politik dari
pemerintah bayangan tersebut cukup bervariasi. Satu diantaranya yang
paling dominan adalah investasi politik yang diberikan oleh aktor-aktor
yang berperan dalam pemeritnah bayangan kepada pejabat formal ketika
proses pemilihan berlangsung.
Penjelasan yang sama juga berlaku bagi praktek “ekonomi informal”, karena sesungguhnya antara shadow state dan informal economy
merupakan “Saudara kembar” yang selalu bergandengan antara satu dengan
lainnya. Secara umum, arbara harris white (1999) mendefisinikan praktek
ekonomi informal sebagai bentuk transaksi ekonomi di luar institusi
formal. Modus prakteknya cukup beragam, diantaranya, tulis barbawa
harriss, adalah; manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan
pengusaha; transaksi “bawah tangan” antara penguasa dan pengusaha dalam
tender proyek-proyek pemerintah; dan pemaksaan swastanisasi aset-aset
negara. Dari sisi pengusaha, praktek “ekonomi informal” ini dapat
diartikulasi sebagai bagian dari kompensasi atas perannya sebagai
donatur bagi si pejabat pemerintah dalam mendapatkan kursi kekuasaan.
Sementara, dari sisi pejabat pemerintah praktik “ekonomi informal”
tersebut memiliki fungsi ganda, yaitu: selain merupakan bagian dari
bentuk “politik balas budi”, juga merupakan arena untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi jangka pendek.
Temuan
studi di dua lokasi penelitian mengindikasikan bahwa karakteristik dari
relasi kekuasaan dalam penyelengaraan pemerintah daerah cenderung
terkonsentrasi di tangan sekelompok elit, atau apa yang disebut dengan
“oligarkhi kekuasaan”. Basis dari “konstruksi” oligarkhi kekuasaan ini,
relatif bervariasi, diantaranya adalah berlandaskan pada: kekuatan
partai politik, ikatan kekerabatan, ikatan kesukuan dan hubungan
keluarga. Praktek oligarkhi kekuasaan tersebut realatif dapat berjalan
secara efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena
ditopang oleh keberadaan shadow political and business manager,
yang berperan sebagai “aktor penghubung” antara para pejabat
pemerintahan daerah dengan masyarakat, pada umumnya, dan dengan para
pengusaha pada khususnya.
Lebih
jauh, tiga kasus yang telah ditelusuri dalam studi ini kasus renovasi
kantor perwakilan sumatera barat di jakarta; serta kasus “dana
pendidikan” dan kasus “kota satelit dompak” di kepulauan riau
mengindikasikan bahwa praktek shadow state dan informal Economy relatif
telah menghinggapi penyelenggaraan pemerintahan daerah pada periode
“pasca pilkada” di dua provinsi yang diteliti pada tahun 2007. Kepala
daerah terpilih (gubernur), pada khususnya, menghadapi banyak kesulitan
dalam melaksanakan otoritas formal yang dimiliki karena berhadapan
dengan “kekuatan informal” yang berada diluar institusi formal
pemerintahan daerah (shadow state). Diantara aktor yang cukup dominan
dalam praktik shadow state tersebut adalah para pengusaha yang telah
berperan sebagai sponsor dana dan sponsor politik bagi para gubernur
saat pilkada.
Tidak ada komentar
Posting Komentar